Educational Psychology-3

| | 0 komentar

Anak bisa Depresi?

Apa yang membuat seorang anak mendapatkan satu kondisi dimana dia mengalami gangguan emosional (depresi), apa saja tanda-tandanya, dan hal apa yang dapat dilakukan orangtua atau orang terdekat anak dalam menghadapi keadaan tersebut?

Dari fakta yang ada, depresi tidak hanya terjadi pada orang dewasa, anak-anak juga bisa mengalami depresi.
Secara teori depresi merupakan suatu jenis gangguan mood di mana pengidapnya merasa dirinya tak berharga sama sekali, percaya bahwa keadaan tidak akan pernah membaik, dan tampak lesu dan tidak bersemangat dalam jangka waktu yang lama, atau dapat dikatakan sebagai suatu penyakit dimana perasaan depresi tersebut bertahan dan mengganggu aktifitas dan kemampuan anak.

Ada beberapa tanda-tanda khusus yang dapat dijadikan indikasi anak mengalami kecenderungan depresi, antara lain:
• Anak terlihat penuh kesedihan, tangis terus menerus dan kesedihan persisten.
• Kurangnya antusiasme atau motivasi (penurunan minat dalam berbagai kegiatan, atau ketidakmampuan untuk menikmati kegiatan favorit sebelumnya).
• Meningkatnya kemarahan.
• Kelelahan kronis atau kekurangan energi.
• Menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang tadinya disukai.
• Perubahan kebiasaan makan dan tidur (adanya kenaikan atau penurunan berat tubuh yang terlihat jelas, suka sekali tidur, sulit tidur).
• Keluhan yang sangat sering mengenai masalah fisik, seperti sakit perut atau pusing.
• Kurangnya konsentrasi dan suka lupa.
• Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan.
• Sensitifitas berlebihan sampai penolakan atau kegagalan.
• Perkembangan mayor yang tertunda (pada balita – tidak berjalan, berbicara atau mengekspresikan diri ).
• Bermain yang melibatkan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, atau dengan tema yang sedih.
• Seringnya muncul pembicaraan mengenai kematian atau bunuh diri.

Secara umum, depresi dapat terjadi oleh beberapa faktor, jika ditinjau dari sudut pandang orang dewasa dpresi sering muncul dari permasalahan hubungan sosial atau keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Seorang profesor Herbert Scheithauer di Free University of Berlin, telah melakukan riset pada anak-anak yang depresi, dan dia menyimpulkan bahwa perkembangan depresi kebanyakan berkaitan dengan lingkungan sosial mereka. Peristiwa kritis dalam kehidupan mereka terjadi pada 70 persen anak-anak yang mengalami penyakit-penyakit akibat depresi.
Faktor-faktor yanag dapat dikategorikan sebagai penyebab anak dalam kondisi depresi adalah faktor sosial dimana anak mengalami permasalahan di dalam keluarga, yaitu kehilangan orang tua, ketidakharmonisan dengan orang tua, dan perceraian. Anak-anak tampak tidak dapat melakukan penyesuaian dengan baik pada perubahan yang terjadi dalam lingkungan mereka, misalnya seperti perceraian atau pasangan baru dari kedua orang tua mereka.
Faktor lingkungan yang membuat anak-anak berisiko menderita gangguan depresi meliputi pelecehan fisik, seksual, dan verbal, anak yang terlantar dan adanya sejarah pemakaian obat-obatan dalam keluarga.
Meskipun seorang anak masih dikatagorikan sebagai balita, emosinya sangatlah nyata. Para ahli percaya bahwa makin banyak orang tua memberi perhatian pada perasaan anaknya, maka makin baiklah kemampuannya untuk mencari bantuan pada depresi. "Jika seorang anak mengatakan, ‘saya sangat sedih dan ingin lompat dari jendela’, sebaiknya orangtua atau siapapun di lingkungannya, memandang perkataan ini secara serius, " kata Rody, seorang psikiater asal New Jersey, memperingatkan.
Hal awal yang khususnya oleh orangtua dapat lakukan, untuk mengetahui penyebab kesedihan seorang anak :
  • Apa yang terjadi hari ini sehingga kamu sangat sedih?
  • Apa yang membuat kamu bahagia?
  • Apa sih yang kamu cari?
  • Apa yang kamu inginkan terjadi padamu?
  • Jika kamu dapat mengubah dirimu, apa yang ingin kamu ubah?
Perawatan khusus bagi anak yang menderita depresi dapat dilakukan kombinasi dari psikoterapi individu dan konseling keluarga. Dan supaya optimal, terapi haruslah melibatkan orang tua, saudara, dan orang yang penting dalam kehidupan anak, seperti guru dan kakek-neneknya.

Perawatan lainnya meliputi terapi bermain, evaluasi berkelanjutan dan pada beberapa kasus, menggunakan obat. Obat antidepresi seringkali digunakan untuk merawat kasus depresi menengah. Dan yang terpenting ialah belumlah diijinkan untuk memberikan obat antidepresi pada anak di bawah usia 8 tahun. 

Sumber :

Psikologi Pendidikan & Sekolah

| | 0 komentar


Psikologi pedidikan adalah cabang ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami pengajaran dan pembelajaran dalam lingkungan pendidikan. Atau secara singkat psikologi pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang mengaplikasikan ilmu psikologi dalam dunia belajar dan mengajar.

Psikologi pendidikan sendiri, merupakan gabungan dari dua konteks bidang studi yang berbeda.
Pertama ialah psikologi yang merupakan suatu kajian ilmiah mengenai perilaku serta proses mental (ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang pikiran dan perilaku manusia serta hubungannya dengan manusia), yang artinya tidak hanya mempelajari manusia dalam kesendiriannya, melainkan juga mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.
Kedua adalah pendidikan itu sendiri atau lebih khusus adalah sekolah. Jadi, sebagai sebuah subdisiplin ilmu sendiri dalam psikologi, psikologi pendidikan memfokuskan diri pada pemahaman proses pengajaran dan pembelajaran yang mengambil tempat dalam lingkungan, baik itu formal, nonformal, dan informal.
Dalam peranannya, seorang psikolog pendidikan biasa bekerja di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi dan dilingkungan pendidikan anak, mengajar, serta melakukan penelitian mengenai pengajaran dan pembelajaran.

Psikologi pendidikan berminat pada teori belajar, metode pengajaran, motivasi, kognitif, emosional, dan perkembangan moral serta hubungan orangtua anak. Selain itu psikologi pendidikan juga mendalami sub-populasi yaitu anak-anak gifted dan yang dengan kebutuhan khusus. Ahli lain menambahkan bahwa psikologi pendidikan berguna dalam penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas, pengembangan dan pembaruan kurikulum, ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan, sosialisasi proses dan interaksi proses itu dengan pendayagunaan kognitif dan penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Psikologi pendidikan mengambil masalah-masalah yang dialami oleh orang muda dalam pendidikan yang mencakup masalah kesulitan belajar atau masalah emosi dan sosial. Mereka mengambil tugas untuk membantu proses belajar anak dan memampukan guru menjadi lebih sadar akan faktor-faktor social yang berkatinan dengan pengajaran dan belajar. Mereka dapat bekerja secara langsung dengan anak (misal memeriksa perkembangan, memberikan konseling) dan secara tidak langsung (dengan orang tua, guru dan profesional lainnya). Karena harus bekerja dengan manusia, psikolog pendidikan haruslah familier dengan pendekatan-pendekatan tradisional tentang studi perilaku, humanistik, kognitif dan psikoanalis. Mereka juga harus sadar dengan teori dan riset yang muncul dari ranah tradisional psikologi seperti perkembangan (Piaget, Erikson, Kohlberg, Freud), bahasa (Vygotsky dan Chomsky), motivasi (Hull, Lewin, Maslow, McClelland), testing (intelegensi dan kepribadian) dan interpretasi tesnya.

Psikologi sekolah berusaha menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, dan emosi, yang bertujuan untuk membentuk “mind set” anak.
Ditinjau dari peranannya, psikolog sekolah pada sekolah dasar atau sekolah menengah pertama misalnya, bertugas mengetes para siswa, kemudian membuat rekomendasi mengenai penempatan pendidikan, dan bekerja dalam tim perencanaan pendidikan.

Karena sama-sama berkecimpung di ranah sekolah, istilah psikologi pendidikan dan psikologi sekolah sering dipertukarkan. Perbedaan paling mendasar ialah terlihat dari peranannya, dimana teoris dan peneliti lebih diidentifikasi sebagai psikolog pendidikan, sementara praktisi di sekolah lebih diidentifikasi sebagai psikolog sekolah.

Sumber :  
Santrock J. W. (2008). Psikologi Pendidikan. Edisi kedua. Jakarta : Prenada Media Group.
King L. A. (2007). Psikologi Umum. Buku 1. Jakarta : Salemba Humanika.

Fenomena Pendidikan di Indonesia

| | 0 komentar

Anggita Windy (10-103)
Christin Siahaan (10-107)
Putri Olwinda (10-121)

Pada kuliah online hari ini yang kami ikuti kami membahas 3 fenomena pendidikan di Indonesia serta mengkaitkannya dengan teori.

Fenomena Pertama
Anak Tidak Mau Sekolah

SUMBER : http://www.psikologizone.com/anak-tidak-mau-sekolah
pada artikel ini, diceritakan bahwa ada seorang anak bernama Reza yang baru beberapa hari tahun ajaran sekolah dimulai, Reza tiba-tiba saja mogok sekolah. Ketika ditanya masalahnya, ia emoh cerita. Esoknya, Sang Ibu mengetahui dari teman sekelas Reza, kalau kemarin Reza baru dimarahi gurunya karena lupa membawa buku tugas.Kategori usia anak yang suka melakukan mogok sekolah adalah anak-anak yang masih sekolah di tingkat playgroup , TK, atau SD

Penyebab Reza mogok Sekolah atau anak-anak lain mogok sekolah bisa diakibat oleh dua faktor yaitu Internal dan Eksternal. Internal sendiri berupa itu biasanya ada di dalam diri Si Anak (berhubungan dengan karakteristik anak), situasi rumah, dan merasa cemas karena harus berpisah dengan salah satu orang terdekatnya (separation anxiety ), seperti ibu atau pengasuhnya. kalau faktor eksternalnya sendiri berupa Sedang faktor penyebab eksternal, lebih ke masalah lingkungan sekolah yang membuatnya merasa tidak nyaman. Misalnya, ternyata mainan di rumahnya lebih banyak dan menarik dibanding di sekolah, teman-teman di sekolah suka mengisenginya (bully ), anak susah beradaptasi dengan lingkungan sekolah, atau gurunya galak.
Dalam kasus ini sendiri kita bisa lihat yang lebih banyak berpengaruh adalah karena faktor eksternal yaitu dari kondisi lingkungannya lebih tepatnya karena faktor si guru.
Dari permasalahan ini, kelompok kami menggunakan Pendekatan Learning yaitu Classical Conditioning. Dimana pada kasus ini yang berperan sebagai UCS nya sekolah UCS nya guru galak/kritik guru dan UCRnya anak takut atau cemas dan kemudia CSnya adalah sekolah. dimana nantinya UCS dan CS diberikan secara bersama-sama sehingga menghasilkan CR berupa anak takut atau dengan kata lain, hanya dengar sekolah aja dia langsung gak mau sekolah karena pemberian stimulus antara guru galak dan sekolah tadi diberikan secara bersama-sama, tanpa ditampilkan wujud sang guru dia langsung cemas dan takut kalau disebutkan sekolah.
Teori Bimbingan Orangtua
Bimbingan orangtua sangat dibutuhkan pada kasus ini agar semnagat belajar anak tambah tinggi. dimana Keluarga menjadi tempat pertama pertumbuhan dan perkembangan yang sangat menentukan perannya.
Menurut Kartono (1991;63) bahwa "Orang tua merupakan orang pertama dan utama yang mampu, serta berhak menolong keturunannya dan mendidik anaknya". Orang tua peranannya dalam keluarga dan dapat menciptakan ikatan emosianal dengan anaknya, menciptakan suasana aman dirumah sehingga orang tua/rumah merupakan tempat anak untuk kembali, menjadi contoh/model bagi anaknya, memberikan disiplin dan memperbaiki tingkah laku anak, menciptakan jaringan komunikasi diantara anggota keluarga.
Pengawasan dan bimbingan orang tua dirumah mutlak diperlukan karena adanya bimbingan, orang tua dapat mengawasi dan dapat mengetahui segala kekurangan dan kesulitan anak dalam belajarnya. Gunarso (1983;64) menyatakan sebagai berikut :
"Orang tua berperan besar dalam mengajar, mendidik, memberikan bimbingan, dan menyediakan sarana belajar serta memberi teladan pada anak sesuai dengan nilai moral yang berfaku atau tingkah laku yang perlu dihindari".
Bimbingan dari orang tua dapat juga berperan sebagai cara untuk peningkatan disiplin terutama dalam belajarnya. Ahmadi (1991;82) menyatakan bahwa "Anak belajar memerlukan bimbingan dari orang tua agar sikap dewasa dan tanggung jawab belajar tumbuh pada diri anak".
Pada kasus ini solusi yang tepat bisa dilakukan adalah :
1. jangan omelin anak,,, kalau orangtua semakin omelin anak, yang dah anak menjadi lebih takut dan cemas
2. berikan dia semngat : Ketika anak bisa menguasai rasa takutnya dan mau sekolah lagi, usahakan selalu memberikan mereka pujian kasih sayang, bukan hadiah barang karena yang dibutuhkan adalah dukungan mental. Hadiah “verbal” ini misalnya seperti, “Mama bangga hari ini kamu enggak nangis.” Setiap kemajuan, sekalipun kecil, harus tetap dihargai. Meskipun esoknya Si Anak menangis lagi, ya tidak apa-apa, orang tua tetap harus sabar. Orangtua tetap harus membesarkan hatinya secara verbal, “Ayo, kamu pasti bisa!” Ingat, semangat itu mampu menumbuhkan motivasi anak.
Nah, dengan menyadari permasalahan anak, Anda bisa berpikir jernih membantu setiap masalahnya.
3. Bicara Dua Arah Jika memang masalahnya bukan karena separation anxiety , ajaklah ia berkomunikasi agar bisa mengindentifikasi perasaan anak. Usahakan diskusi dilakukan dari hati ke hati, dua arah, dan dengan menekankan mengapa anak mogok sekolah.
Dengan mengetahui masalahnya, Si Anak merasa orang tua mau mengerti dan orang tua juga tahu seperti apa sudut pandang anak.
Menyiapkan mental anak adalah yang terpenting. Orang tua jangan pernah lelah menyemangati anak berulang-ulang. Semangat itu bisa mengubah rasa takut anak menjadi motivasi positif baginya.

Fenomena Kedua
http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/22/09451015
pada artikel ini meceritakan Rawan pangan akibat kekeringan tidak hanya menimbulkan masalah gizi buruk pada anak-anak di bawah usia 5 tahun di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, tetapi juga mengancam kelancaran pendidikan. Ratusan anak usia sekolah di daerah itu terancam putus sekolah karena ketiadaan biaya.
Gagal panen tahun ini membuat orangtua tidak punya pilihan lain selain memberhentikan anak-anak mereka dari pendidikan tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Sejumlah orangtua juga memilih mengistirahatkan anak mereka di rumah sambil membantu mereka karena sekolah jauh dari permukiman dan mereka tak memiliki biaya transportasi.Kepala Dusun Kamaru, Desa Tanamana, Kecamatan Pahunga Lodu, Hamana Remang, Senin (19/4/2010), mengatakan, sebelum kasus ancaman rawan pangan di desa itu, kasus putus sekolah di daerah itu sudah cukup tinggi. Saat ini, anak-anak SD di Dusun Kamaru mulai kendur semangat belajarnya karena banyak yang pergi ke sekolah berjalan kaki berkilometer jauhnya, tanpa diberi makan dari rumah.
Tiga siswa kelas II SLTA yang sekolah di Waingapu pun dalam satu bulan ini berada di dusun dengan alasan tak ada biaya makan, minum, dan kebutuhan lain. Saat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono berkunjung ke Desa Hambapraing, Kecamatan Kanatang, Sumba Timur, Sabtu pekan lalu, Yustina Kongawardan (15) menceritakan kegalauannya karena tak bisa melanjutkan sekolah.

Teori pendidikan
Pendekatan Motivasi, ekstrinsik dan intrinsik, dimana Motivasi ekstrinsik merupakan suatu dorongan dari luar terhadap tujuan pribadi seseorang, sedangkan Motivasi intrinsik merupakan dorongan dari dalam atau keinginan dari dalam diri terhadap tujuan pribadinya sendiri.
Sebagai contoh dari artikel diatas, anak-anak yang berada dikeluarga dengan ekonomi kebawah tidak bisa dan bahkan tidak mendapatkan perhatian penuh dari orangtuanya untuk memperoleh pendidikan yang seharusnya. Alasannya, selain karena ekonomi rendah, berupa motivasi ekstrinsik, yang mana orangtua tidak menyanggupi anaknya untuk sekolah karena lebih baik anak itu membantu mereka, orangtunya, bekerja dirumah, padahal memungkinkan untuk anak itu memiliki motivasi intrinsik, yang mana keinginan yang kuat untuk mendapatkan pendidikan dan juga motivasi intrinsik dimana anak kasihan melihat orangtuanya bekerja sendiri, dan dengan segera tertutupi oleh keinginan orangtua yang lebih menyanggupi anak tersebut untuk ikut membantu membantu mereka bekerja.

Fenomena Ketiga.
Minat orangtua untuk memasukkan anaknya ke pendidikan anak usia dini, termasuk ke ke kelompok bermain dan taman kanak-kanak atau TK, cenderung meningkat. Fenomena ini menunjukkan semakin tingginya kesadaran orangtua untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya yang berada pada usia emas, 0-6 tahun.
Mudjito AK, Direktur Pembinaan SD dan TK Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Selasa (4/11), mengatakan, saat ini dari sekitar 28,24 juta anak usia 0-6 tahun, sekitar 11 juta anak atau 42,3 persen di antaranya sudah mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) formal maupun non-formal. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2004 yang baru mencapai sekitar 39 persen.
Dari sekitar 11 juta anak yang mengikuti PAUD, sekitar 4,2 juta anak dilayani di jenjang TK/ raudhatul athfal (RA) atau PAUD formal, sedangkan 6,8 juta anak lainnya mengikuti pendidikan di PAUD nonformal.
Mudjito mengatakan, perluasan akses anak-anak usia TK dilakukan dengan menyediakan TK di setiap kecamatan atau menyelenggarakan TK di SD yang sudah ada bangunannya. Dengan demikian, SD dan TK diselenggarakan dalam satu atap. Dikembangkan pula PAUD nonformal di tingkat RT atau RW.


Berdasarkan teori bimbingan sekolah, "School counseling is one area where assessments and increasing accountability is helping to create a more progressive educational environment"
maksudnya teori ini setuju dengan tindakan orangtua yg memiliki minat kuat memasukkan anak dalam area pendidikan sekolah sejak dini sekali, namun dalam konteks yang positif, tidak mengejar target terhadap anak, tidak menjadikan anak sesuai dengan apa yang orang tua inginkan.
contohnya dari artikel diatas, orang tua memasukkan anak ke sekolah sejak dini adalah sebuah dampak positif dari orang tua dalam pendidikan anak selanjutnya.

Referensi pembahasan:

Santrock., J.W. (2008). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Prenada Media Group
http://heru-id.blogspot.com/2010/02/teori-tentang-bimbingan-orang-tua.html
http://www.school-counselor.org/topics.html