Fenomena Pendidikan di Indonesia
Diposting oleh 10121 Putri Olwinda S | Rabu, April 06, 2011 |Label: Tugas Kelompok - 2
Anggita Windy (10-103)
Christin Siahaan (10-107)
Putri Olwinda (10-121)
Pada kuliah online hari ini yang kami ikuti kami membahas 3 fenomena pendidikan di Indonesia serta mengkaitkannya dengan teori.
Fenomena Pertama
Anak Tidak Mau Sekolah
SUMBER : http://www.psikologizone.com/anak-tidak-mau-sekolah
pada artikel ini, diceritakan bahwa ada seorang anak bernama Reza yang baru beberapa hari tahun ajaran sekolah dimulai, Reza tiba-tiba saja mogok sekolah. Ketika ditanya masalahnya, ia emoh cerita. Esoknya, Sang Ibu mengetahui dari teman sekelas Reza, kalau kemarin Reza baru dimarahi gurunya karena lupa membawa buku tugas.Kategori usia anak yang suka melakukan mogok sekolah adalah anak-anak yang masih sekolah di tingkat playgroup , TK, atau SD
Penyebab Reza mogok Sekolah atau anak-anak lain mogok sekolah bisa diakibat oleh dua faktor yaitu Internal dan Eksternal. Internal sendiri berupa itu biasanya ada di dalam diri Si Anak (berhubungan dengan karakteristik anak), situasi rumah, dan merasa cemas karena harus berpisah dengan salah satu orang terdekatnya (separation anxiety ), seperti ibu atau pengasuhnya. kalau faktor eksternalnya sendiri berupa Sedang faktor penyebab eksternal, lebih ke masalah lingkungan sekolah yang membuatnya merasa tidak nyaman. Misalnya, ternyata mainan di rumahnya lebih banyak dan menarik dibanding di sekolah, teman-teman di sekolah suka mengisenginya (bully ), anak susah beradaptasi dengan lingkungan sekolah, atau gurunya galak.
Dalam kasus ini sendiri kita bisa lihat yang lebih banyak berpengaruh adalah karena faktor eksternal yaitu dari kondisi lingkungannya lebih tepatnya karena faktor si guru.
Dari permasalahan ini, kelompok kami menggunakan Pendekatan Learning yaitu Classical Conditioning. Dimana pada kasus ini yang berperan sebagai UCS nya sekolah UCS nya guru galak/kritik guru dan UCRnya anak takut atau cemas dan kemudia CSnya adalah sekolah. dimana nantinya UCS dan CS diberikan secara bersama-sama sehingga menghasilkan CR berupa anak takut atau dengan kata lain, hanya dengar sekolah aja dia langsung gak mau sekolah karena pemberian stimulus antara guru galak dan sekolah tadi diberikan secara bersama-sama, tanpa ditampilkan wujud sang guru dia langsung cemas dan takut kalau disebutkan sekolah.
Teori Bimbingan Orangtua
Bimbingan orangtua sangat dibutuhkan pada kasus ini agar semnagat belajar anak tambah tinggi. dimana Keluarga menjadi tempat pertama pertumbuhan dan perkembangan yang sangat menentukan perannya.
Menurut Kartono (1991;63) bahwa "Orang tua merupakan orang pertama dan utama yang mampu, serta berhak menolong keturunannya dan mendidik anaknya". Orang tua peranannya dalam keluarga dan dapat menciptakan ikatan emosianal dengan anaknya, menciptakan suasana aman dirumah sehingga orang tua/rumah merupakan tempat anak untuk kembali, menjadi contoh/model bagi anaknya, memberikan disiplin dan memperbaiki tingkah laku anak, menciptakan jaringan komunikasi diantara anggota keluarga.
Pengawasan dan bimbingan orang tua dirumah mutlak diperlukan karena adanya bimbingan, orang tua dapat mengawasi dan dapat mengetahui segala kekurangan dan kesulitan anak dalam belajarnya. Gunarso (1983;64) menyatakan sebagai berikut :
"Orang tua berperan besar dalam mengajar, mendidik, memberikan bimbingan, dan menyediakan sarana belajar serta memberi teladan pada anak sesuai dengan nilai moral yang berfaku atau tingkah laku yang perlu dihindari".
Bimbingan dari orang tua dapat juga berperan sebagai cara untuk peningkatan disiplin terutama dalam belajarnya. Ahmadi (1991;82) menyatakan bahwa "Anak belajar memerlukan bimbingan dari orang tua agar sikap dewasa dan tanggung jawab belajar tumbuh pada diri anak".
Pada kasus ini solusi yang tepat bisa dilakukan adalah :
1. jangan omelin anak,,, kalau orangtua semakin omelin anak, yang dah anak menjadi lebih takut dan cemas
2. berikan dia semngat : Ketika anak bisa menguasai rasa takutnya dan mau sekolah lagi, usahakan selalu memberikan mereka pujian kasih sayang, bukan hadiah barang karena yang dibutuhkan adalah dukungan mental. Hadiah “verbal” ini misalnya seperti, “Mama bangga hari ini kamu enggak nangis.” Setiap kemajuan, sekalipun kecil, harus tetap dihargai. Meskipun esoknya Si Anak menangis lagi, ya tidak apa-apa, orang tua tetap harus sabar. Orangtua tetap harus membesarkan hatinya secara verbal, “Ayo, kamu pasti bisa!” Ingat, semangat itu mampu menumbuhkan motivasi anak.
Nah, dengan menyadari permasalahan anak, Anda bisa berpikir jernih membantu setiap masalahnya.
3. Bicara Dua Arah Jika memang masalahnya bukan karena separation anxiety , ajaklah ia berkomunikasi agar bisa mengindentifikasi perasaan anak. Usahakan diskusi dilakukan dari hati ke hati, dua arah, dan dengan menekankan mengapa anak mogok sekolah.
Dengan mengetahui masalahnya, Si Anak merasa orang tua mau mengerti dan orang tua juga tahu seperti apa sudut pandang anak.
Menyiapkan mental anak adalah yang terpenting. Orang tua jangan pernah lelah menyemangati anak berulang-ulang. Semangat itu bisa mengubah rasa takut anak menjadi motivasi positif baginya.
Fenomena Kedua
http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/22/09451015
pada artikel ini meceritakan Rawan pangan akibat kekeringan tidak hanya menimbulkan masalah gizi buruk pada anak-anak di bawah usia 5 tahun di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, tetapi juga mengancam kelancaran pendidikan. Ratusan anak usia sekolah di daerah itu terancam putus sekolah karena ketiadaan biaya.
Gagal panen tahun ini membuat orangtua tidak punya pilihan lain selain memberhentikan anak-anak mereka dari pendidikan tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Sejumlah orangtua juga memilih mengistirahatkan anak mereka di rumah sambil membantu mereka karena sekolah jauh dari permukiman dan mereka tak memiliki biaya transportasi.Kepala Dusun Kamaru, Desa Tanamana, Kecamatan Pahunga Lodu, Hamana Remang, Senin (19/4/2010), mengatakan, sebelum kasus ancaman rawan pangan di desa itu, kasus putus sekolah di daerah itu sudah cukup tinggi. Saat ini, anak-anak SD di Dusun Kamaru mulai kendur semangat belajarnya karena banyak yang pergi ke sekolah berjalan kaki berkilometer jauhnya, tanpa diberi makan dari rumah.
Tiga siswa kelas II SLTA yang sekolah di Waingapu pun dalam satu bulan ini berada di dusun dengan alasan tak ada biaya makan, minum, dan kebutuhan lain. Saat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono berkunjung ke Desa Hambapraing, Kecamatan Kanatang, Sumba Timur, Sabtu pekan lalu, Yustina Kongawardan (15) menceritakan kegalauannya karena tak bisa melanjutkan sekolah.
Teori pendidikan
Pendekatan Motivasi, ekstrinsik dan intrinsik, dimana Motivasi ekstrinsik merupakan suatu dorongan dari luar terhadap tujuan pribadi seseorang, sedangkan Motivasi intrinsik merupakan dorongan dari dalam atau keinginan dari dalam diri terhadap tujuan pribadinya sendiri.
Sebagai contoh dari artikel diatas, anak-anak yang berada dikeluarga dengan ekonomi kebawah tidak bisa dan bahkan tidak mendapatkan perhatian penuh dari orangtuanya untuk memperoleh pendidikan yang seharusnya. Alasannya, selain karena ekonomi rendah, berupa motivasi ekstrinsik, yang mana orangtua tidak menyanggupi anaknya untuk sekolah karena lebih baik anak itu membantu mereka, orangtunya, bekerja dirumah, padahal memungkinkan untuk anak itu memiliki motivasi intrinsik, yang mana keinginan yang kuat untuk mendapatkan pendidikan dan juga motivasi intrinsik dimana anak kasihan melihat orangtuanya bekerja sendiri, dan dengan segera tertutupi oleh keinginan orangtua yang lebih menyanggupi anak tersebut untuk ikut membantu membantu mereka bekerja.
Fenomena Ketiga.
Minat orangtua untuk memasukkan anaknya ke pendidikan anak usia dini, termasuk ke ke kelompok bermain dan taman kanak-kanak atau TK, cenderung meningkat. Fenomena ini menunjukkan semakin tingginya kesadaran orangtua untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya yang berada pada usia emas, 0-6 tahun.
Mudjito AK, Direktur Pembinaan SD dan TK Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Selasa (4/11), mengatakan, saat ini dari sekitar 28,24 juta anak usia 0-6 tahun, sekitar 11 juta anak atau 42,3 persen di antaranya sudah mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) formal maupun non-formal. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2004 yang baru mencapai sekitar 39 persen.
Dari sekitar 11 juta anak yang mengikuti PAUD, sekitar 4,2 juta anak dilayani di jenjang TK/ raudhatul athfal (RA) atau PAUD formal, sedangkan 6,8 juta anak lainnya mengikuti pendidikan di PAUD nonformal.
Mudjito mengatakan, perluasan akses anak-anak usia TK dilakukan dengan menyediakan TK di setiap kecamatan atau menyelenggarakan TK di SD yang sudah ada bangunannya. Dengan demikian, SD dan TK diselenggarakan dalam satu atap. Dikembangkan pula PAUD nonformal di tingkat RT atau RW.
Berdasarkan teori bimbingan sekolah, "School counseling is one area where assessments and increasing accountability is helping to create a more progressive educational environment"
maksudnya teori ini setuju dengan tindakan orangtua yg memiliki minat kuat memasukkan anak dalam area pendidikan sekolah sejak dini sekali, namun dalam konteks yang positif, tidak mengejar target terhadap anak, tidak menjadikan anak sesuai dengan apa yang orang tua inginkan.
contohnya dari artikel diatas, orang tua memasukkan anak ke sekolah sejak dini adalah sebuah dampak positif dari orang tua dalam pendidikan anak selanjutnya.
Referensi pembahasan:
Santrock., J.W. (2008). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Prenada Media Group
http://heru-id.blogspot.com/2010/02/teori-tentang-bimbingan-orang-tua.html
http://www.school-counselor.org/topics.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar